Ada satu
episode dalam hidup saya yang akan selalu saya kenang. Episode ini adalah
ketika saya berkelana ke Jakarta selama dua minggu dengan harapan mendapatkan
pekerjaan demi masa depan namun berujung dengan kegagalan. | Jakarta, Maret 2008 |
Episode ini
tepatnya berlangsung pada Maret 2008. Saat itu saya sedang dalam kondisi
galau karena sejak lulus kuliah pada awal tahun 2006 saya masih belum mendapatkan
pekerjaan mapan. Hampir setiap saat saya hanya bisa berangan-angan kapan saya
bisa mendapatkan penghasilan sendiri dan membeli barang-barang yang saya
inginkan. Yang menjadikan saya semakin bertekad untuk mendapatkan penghidupan
yang lebih baik adalah teman-teman kuliah yang sudah mendapatkan pekerjaan.
Ada yang menjadi asisten dosen, menjadi PNS dan pekerjaan lain yang menurut saya bonafid.
Kondisi
demikian membuat saya bertekad untuk mengadu nasib ke Jakarta. Modal utama saya
waktu itu adalah kenekatan. Saya tidak mempunya gambaran dan rencana jelas tentang
apa yang akan saya lakukan di Jakarta atau bagaimana mewujudkan cita-cita
saya untuk mendapatkan pekerjaan. Saya hanya mengandalkan teman dan family
yang ada di Jakarta.
Keluarga
terutama Ibu menentang kenginan saya untuk pergi ke Jakarta. Saya dianggap
belum siap untuk pergi merantau ke Jakarta serta belum jelas apa yang mau
saya kerjakan di Jakarta. Meski demikian saya tetap nekat berangkat.
Saya
berangkat ke Jakarta menggunakan Kereta Api Matarmaja dari Stasiun Malang
Kota dengan tiket sebesar Rp55.000. Jika dibandingkan dengan saat ini, perjalanan
menggunakan kereta api Matarmaja saat itu sungguh tidak nyaman. Jumlah
penumpang melebihi kapasitas, banyak penjual asongan, peminta-minta, dan pengamen yang lalu lalang. Kereta Matarmaja sebagai KA ekonomi bersubsidi tidak
dilengkapi dengan AC. Walaupun ada kipas angin, namun hanya spot-spot
tertentu yang bisa merasakannya. Bisa dibayangkan betapa gerahnya suasana
perjalanan menggunkan kereta api saat itu. Dalam kondisi yang sangat gerah
tersebut, sejak naik hingga turun kereta, saya tidak pernah melepas jaket
saya. Saya tidak mau ambil resiko kecopetan karena saya menyimpan tas kecil
berisi dompet, HP dan dokumen penting di balik jaket saya. Lebih baik saya
kegerahan sepanjang jalan dari pada kehilangan barang-barang tersebut.
Perjalanan
dengan KA Matarmaja saat itu menghabiskan waktu selama 22 Jam, tepatnya pukul
12.00 siang berangkat dari Malang dan tiba di stasiun Pasar Senen Jakarta
pukul 10.00 pagi di hari berikutnya. Durasi yang sangat lama itu di antaranya disebabkan oleh durasi berhenti di stasiun-stasiun yang molor. Seringkali kereta berhenti lebih dari 15 menit untuk menyaksikan kereta-kereta eksekutif bersimpangan atau melewati kereta Matarmaja. Pertunjukan kesenjangan yang nyata. Di Jakarta saya dijemput oleh family,
Afif, untuk kemudian lanjut menuju ke kosannya di daerah Cempaka Mas. Di Kosannya yang berukuran sempit
saya numpang istirahat untuk beberapa hari. Tidak ada kegiatan khusus selama
saya numpang di sini. Sekali waktu saya di ajak ke Mall ITC Cempaka. Mall
yang menurut saya waktu itu sangat-sangat besar. | "Mosok Gedung Sakmene Akehe Ganok Sing Gelem Nerimo Awakmu" |
Beberapa
hari kemudian saya ganti numpang di kosan teman kuliah saya yang berada di
daerah JIEP Pulogadung, Dodie. Di tempat ini saya numpang cukup lama. Walaupun
kosannya panas dan gerah, di kosan ini ada playstation dan berbagai macam
judul film vcd bajakan. Lumayan, ada banyak hiburan agar saya tidak suntuk.
Karena jam kerjanya terbagi dalam shift, pada siang hari saya sering di ajak keliling
Jakarta. Yang masih saya ingat adalah ketika Dodie membawa saya ke Mall
Ambassador. Di mall ini saya diajak makan di Resto Hoka-Hoka Bento. Ada satu
momen dimana Dodie menenunjuk ke arah gedung-gedung tinggi sambal berkata “mosok
gedung sak mene akehe ganok sing gelem nerimo awakmu” yang artinya “masak
dari sekian banyak gedung, tidak ada yang mau menerima kamu kerja”. Perkataan
singkat yang melecut semangat saya untuk tidak patah semangat dalam
menghadapi masa depan. Saya tidak tahu bagaimana caranya namun saya yakin
pada saatnya saya akan bisa menjadi sukses. | Wahana Kicir-Kicir di Dufan |
Selain
ngemall bareng, Dodie juga mengajak ke Dufan. Kami berangkat mulai pagi hari pada
weekday agar puas bermain-main di Dufan. Karena sepi, antrian jadi tidak
banyak dan kami bisa bolak-balik menjajal wahana yang kami suka. Mulai
halilintar, kora-kora, kicir-kicir dan wahana-wahana lain yang menguji
adrenalin. Satu wahana yang ternyata sangat bermanfaat saat cuaca sedang
panas adalah istana boneka. Di sini saya bisa numpang mendinginkan badan dan
beristirahat sejenak di atas perahu kecil yang melaju pelan. | Ngadem di Istana Boneka Dufan |
Selain
numpang di kosan Dodie, saya juga merepotkan teman kuliah yang lain, Rizqi.
Rizqi saat itu sudah bekerja sebagai PNS di Kementerian PU dan tinggal di
Kosan dekat kantor pusat Kementerian PU di daerah Blok M. Karena Dodie sedang
sibuk terpaksa saya berangkat sendiri menggunakan Busway menuju kosan Rizqi. Rizqi
akan menjemput di Masjid AlAzhar, namun karena HP saya mati karena kehabisan
daya, terpaksa saya muter-muter dulu cari tempat numpang nge-charge.
Untungnya saya akhirnya bisa numpang nge-charge bentar di sebuah konter pulsa
dan kemudian menghubungi Rizqi agar menjemput saya. Saya hanya menginap
selama semalam di kosan Rizqi karena dia harus keluar kota. Sebelum pamitan
Rizqi sempat memberi uang jajan Rp50.000. Mayan bisa buat jajan atau
menyambung hidup.
Dari kosan
Rizqi, saya kembali ke kosan Afif. Di sini, Saya sempat membuat surat lamaran
ke salah satu Hotel yang membuka lowongan kerja. Surat lamaran yang tidak
pernah mendapatkan balasan walaupun penolakan.
Di Jakarta saya
juga sempat maen ke rumah Wulan di Rawamangun, rekan kuliah di FH UB bersama
Rizqi, Dodie,dan Afif. Di sini kami bernostalgia serta makan-makan bersama.
Terus terang pada saat itu saya merasa minder karena hanya saya yang belum
mendapatkan pekerjaan jelas. | Wulan dan Rizqi |
Setelah
beberapa hari lagi numpang, Ibu di rumah menelepon agar saya pulang ke
Malang. Beliau tidak tega saya klontang-klantung tidak jelas di Jakarta. Saya
pun jadi bimbang dan sudah tidak bersemangat untuk lebih lama berada di Jakarta.
| Pemandangan Stasiun Gambir di Tahun 2008 |
Tepat dua
minggu berkelana di Jakarta saya ikut Afif ke Cirebon untuk mengunjungi kakaknya.
Dua malam saya menginap di Cirebon untuk kemudian pulang ke Malang
menggunakan bus antar kota. Alhamdulillah keesokan harinya saya tiba di
Malang dengan selamat dan dengan perasaan kalah, karena merasa cepat sekali
menyerah sebelum berjuang dengan sepenuh tenaga. | Sempat Mampir di Cirebon Sebelum Balik ke Malang |
Sebagai
manusia yang mempunyai sifat kompetisi, kita harus berjuang dan berusaha menggapai
kesuksesan. Kita dibekali modal kekuatan dan kemampuan
untuk bisa meningkatkan taraf hidup kita. Yang berbeda mungkin dari
masing-masing kita ada lah kemauan untuk mencari peluang, memanfaatkannya dan
mewujudkannya.
Yang juga menjadi
pelajaran adalah pentingnya menyiapkan diri baik kondisi fisik, mental maupun
kemampuan sebelum “bertempur” di sebuah arena kehidupan. Pengalaman saya saat
pertamakali mengadu nasib ke Jakarta, saya tidak mempunyai bekal yang cukup
selain gelar S.H. di belakang nama saya. Kemampuan berupa soft skill,
jaringan, komunikasi dan persiapan mental saya saat itu masih sangat kurang. Bisa dimaklumi jika pada saat itu saya tidak mendapatkan apa yang saya mimpikan.
Pengalaman
selama dua minggu mengadu nasib di Jakarta menyadarkan saya bahwa tidak semua
orang akan sukses pada percobaan pertamanya. Ada yang berulang kali baru bisa
menaklukkan kerasnya kehidupan ibu kota. Ada lagi yang gagal dan tidak pernah
mencoba lagi. Ukuran kesuksesan tiap orang yang menggantungkan nasib di ibukota memanglah variatif, namun demikian saya merasa beruntung karena saat ini saya bisa berkarier dan mencicipi
sedikit kenyamanan yang disediakan di kota ini.
|