Selasa, 17 Desember 2024

Penuh Rasa Syukur di Masjid Raya Baiturrahman Aceh

Alhamdulillah, Maha Besar Allah dengan segala kuasanya. Saya sangat bersyukur diberi kesempatan untuk bisa secara langsung menunaikan ibadah sholat serta mendapatkan bonus menikmati keindahan arsitektur Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh. Kesempatan ini bertepatan ketika saya mendapatkan penugasan ke kantor perwakilan di kota ini. 

Perpaduan Keindahan, Kemegahan, Kesyahduan, dan Kekayaan Sejarah

Dikutip dari Kompas.com, menurut beberapa sumber disebutkan bahwa Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh didirikan pada 1612, pada masa Kerajaan Aceh dibawah perintah Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Lebih lanjut, masjid ini pernah dibakar oleh penjajah Belanda. Selain itu masjid ini juga menjadi saksi sejarah saat bencana Tsunami melanda kawasan serambi Mekah pada akhir tahun 2004 silam. 

Masjid Raya Baiturrahman

Masjid ini menempati area yang luas yang terdiri atas bangunan utama masjid, menara yang sangat megah, 12 payung raksasa, gerbang cantik dan pelataran luas di depan masjid. Di pelataran ini ada sebuah kolam yang semakin menambah indah pemandangan di area masjid. Ada juga fasilitas yang terletak di bawah permukaan tanah yakni tempat wudhu yang sangat luas.

Saat memasuki area masjid ini, jamaah atau pengunjung akan menjumpai pelataran yang luas. Untuk memasuki area ini, pengunjung atau jamaah harus melepas alas kakinya dan bisa menitipkannya di petugas penitipan. Di area pelataran yang luas ini, saya merasakan hadirnya nuansa damai dan menenangkan. Masjid yang didominasi warna putih ini benar-benar terasa megah dan sempurna. Penataannya sedemikian presisi ditambah dengan bangunan-bangunan pelengkapnya yang diatur sedemikian rupa untuk menunjang fungsi utamanya sebagai tempat ibadah.  

Syahdu

Di area pelataran masjid ini terdapat sebuah kolam yang berukuran lebar. Letaknya tepat di tengah-tengah pelataran. Kolam ini di kelilingi area rerumputan dengan tumbuhan berbunga serta pagar besi di sekelilingnya. Berada dan menyaksikan langsung cantiknya taman dan megahnya masjid ini merupakan anugerah yang tidak semua orang bisa merasakannya.

Selain kolam, terdapat beberapa gapura yang ada di masjid ini, yakni gapura utama di sebelah menara, dua gapura samping kiri dan kanan yang berfungsi sebagai pintu masuk pengunjung, serta sebuah gerbang di tengah-tengah pelataran masjid. Gerbang terakhir menurut saya adalah gerbang yang luar biasa ikonik. Walaupun secara ukuran tidak terlalu besar namun tata bangunannya luar biasa indah. Ornament-ornamen gerbang ini dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menyatu dengan keindahan masjid secara keseluruhan.

Bersyukur

Saya berkunjung ke masjid ini ketika senja, beberapa saat sebelum waktu azan maghrib dikumandangkan. Dalam masa golden hour ini, suasana masjid selayaknya menimbulkan magis tersendiri. Guratan cahaya matahari yang menguning menyinari masjid ini dan memberikan atraksi pergantian masa dari terang ke gelap dengan mempesona. Secara perlahan cahaya matahari semakin meredup dan digantikan dengan cahaya-cahaya dari lampu yang terpancar untuk menerangi sang malam. 

Golden Hour di Masjid Raya

Di saat tenggelamnya matahari di ufuk barat, terdengarlah kumandang adzan merdu yang menandakan waktu untuk menunaikan sholat maghrib. Saya bergegas mencari tempat wudhu yang ternyata terletak dibagian bawah tanah masjid ini. Saya memperhatikan bahwa tempat wudhu di masjid ini berukuran sangat luas dan dapat menampung banyak sekali jamaah sehingga tidak perlu khawatir berdesakan apabila terdapat banyak jamaah yang akan menggunakannya dalam waktu bersamaan.

Selesai melaksanakan wudhu, saya menuju ke area dalam masjid. Di dalam masjid ini, kekaguman saya semakin bertambah. Interior masjid ini sangat cantic dan indah. Ada banyak sekali tiang penyangga yang didominasi oleh warna putih. Perpaduan warna putih dengan hiasan-hiasannya menjadikan bagian dalam masjid ini terasa syahdu. 

Pengajian

Saya cukup beruntung waktu itu karena setelah melaksanakan sholat maghrib saya dapat mengikuti pengajian. Pengajian waktu itu mengambil tema tentang menjaga hati agar tidak dengki. Pengajian tersebut dibawakan dalam bahasa Indonesia namun sesekali menyelipkan kata-kata bahasa Aceh yang saya tidak tahu artinya. Pengajian ini berakhir bertepatan dengan masuknya waktu sholat isya. 

Perfect Frame

Selepas menunaikan sholat isya, sebelum kembali ke penginapan, saya menyempatkan untuk menikmati suasanya pelataran masjid dan mengabadikannya dalam memori kamera. Pemandangan malam hari tentunya berbeda dengan siang hari. Di malam hari, masjid raya Baiturrahman terasa megah dengan penataan lampu-lampunya. Kubah-kubah masjid terlihat gagah dengan pancaran sinar dari lampu di bagian bawahnya. Pemandangan masjid akan terlihat lebih ikonik jika disaksikan dari ujung kolam, karena dari tempat ini, bangunan masjid dapat disaksikan dari arah depan dengan sudut yang lebih luas. 

Sempurna

Satu bangunan yang ikonik di area masjid ini adalah menaranya yang menjulang tinggi. Saya menuliskannya di blog terpisah ya pemirsaah.

Sebagai penutup, saya bersyukur pernah berkesempatan untuk dapat menunaikan sholat di masjid ini serta mengabadikan keindahan dan kemegahannya di dalam memori. Tentunya saya masih berharap untuk dapat mengunjungi masjid ini lagi suatu saat nanti.

 

Museum Tsunami: Bukti Kedahsyatan Bencana Tsunami 2004

Bencana Tsunami tahun 2004 merupakan bencana yang dahsyat yang menerjang sebagian besar wilayah pesisir di provinsi yang dikenal juga dengan sebutan Serambi Mekah ini. Jejak bencana tersebut hingga kini masih dapat kita saksikan salah satunya dengan adanya museum Tsunami.

Pengingat Kebesaran Sang Maha Kuasa

Museum ini terletak di jalan di Jl. Sultan Iskandar Muda No.3, Sukaramai, Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh. Lokasinya tidak terlalu jauh dari Masjid Raya Baiturrahman. Museum ini cukup mudah diakses dan dikenali karena bentuk bangunannya yang unik dan megah. 

Museum Terbaik di Indonesia

Tiket masuk ke museum ini dibagi dalam tiga kategori, yang pertama untuk pelajar harganya Rp3.000. Untuk pengunjung umum, tarifnya sebesar Rp5.000. Adapun untuk wisatawan mancanegara, besaran tarifnya adalah Rp15.000. Pengunjung museum ini perlu memperhatikan waktu berkunjung yakni buka pukul 9 pagi hingga pukul 12 siang dan buka kembali antara pukul 2 siang sampai pukul 4 sore. Sebagai tambahan, pada hari Jumat, museum ini tidak menerima pengunjung. 

Modern dan Informatif

Pada tahun 2023 ketika sedang bertugas di Aceh, saya menyempatkan untuk berkunjung ke museum ini. Saya sengaja datang pada saat museum baru buka ketika museum sedang tidak terlalu ramai. Setelah membayar tiket masuk, sebelum masuk ke dalam gedung museum, saya sempat tertegun sebentar menyaksikan bangkai sebuah helikopter yang sudah rusak parah. Begitu dahsyatnya bencana ini sehingga mengakibatkan harta benda, barang dan bahkan jiwa menjadi musnah dalam sekejap.

Ketika masuk ke bagian dalam museum, suasana langsung berubah mencekam dan merinding dengan suara gemericik air, lantunan kalimat tahlil secara samar dan gemuruh dari kejauhan. Sebuah lorong gelap dengan percikan-percikan air menyambut pengunjung untuk dapat merasakan betapa mencekamnya suasana pada sat Tsunami melanda.

Dari pameran pra bencana, saya menuju ke ruang pameran berikutnya yakni sumur doa. Menurut pendapat saya, ruang ini adalah yang paling membuat perasaan saya campur aduk. Dalam corong gelap ini ada nama-nama ribuan korban Tsunami yang dipahat di dinding ruangan mulai dari bagian bawah hingga bagian ujung. Ruangan ini sangat gelap dengan hanya satu sumber cahaya yang berasal dari puncak sumur. Di bagian puncak sumur ini terdapat lafadz Allah. Berada dalam sumur ini bagaikan menyadarkan kita untuk selalu mengingat Allah dalam kondisi apapun.

Dari Sumur doa, saya beranjak ke lorong Tsunami atau space of fear. Di lorong ini saya merasakan pusing karena lorong ini dibuat dengan memadukan sebuah lorong yang berbentuk melingkar dan menanjak dengan ornamen garis-garis lurus di sisi kiri dan lafadz-lafadz asmaul husna di sisi kanan.

Space of Fear

Di ujung lorong tsunami atau space of fear ada sebuah jembatan perdamaian. Jembatan ini tertata dengan sangat baik dan strategis sekali. Di bagian atasnya adalah atap museum yang dihiasi bendera-bendera negara-negara sahabat yang telah memberikan bantuan pada saat bencana terjadi. Di bawah jembatan terdapat kolam yang tertata apik yang dihiasi bulatan-bulatan beton besar bertuliskan nama-nama negara yang berpartisipasi dalam pemulihan pasca bencana. 

Jembatan Perdamaian

Prasasti Persahabatan

Ujung dari jembatan ini adalah lantai 2 museum yang terdiri dari beberapa ruang diantaranya diorama, miniature, kantin, ruang pameran tetap, ruang audio visual, ruang pameran temporer, dan lain-lain. Di ruang pameran audio visual, pengunjung dapat melihat video kondisi Aceh dan sekitarnya sebelum adanya tsunami. Dokumentasi aktifitas sehari-hari masyarakat dapat kita saksikan di sini. Tidak ada aktifitas luar biasa yang tersirat dari foto-foto ini. Tidak juga ada tanda-tanda bahwa sebuah bencana besar sedang menunggu waktu untuk melandanya. Video kemudian memberikan gambaran mengenai dahsyatnya tsunami dari berbagai dokumentasi yang diperoleh. Pada bagian akhir video, di tampilkan proses pertolongan dan rehabilitasi pada para korban gempa.

Dari beberapa foto yang saya amati di museum ini, ada sumbangsih dan kerja keras yang tidak diganjar dengan penghargaan, medali atau bahkan terima kasih. Sumbangsih ini adalah dari gajah-gajah yang dilibatkan dalam proses penanggulangan bencana di tahap-tahap awal setelah bencana terjadi. Karena aksesnya yang mustahil untuk ditembus, gajah-gajah ini dimanfaatkan untuk dapat membuka akses atau bahkan membantu pencarian korban yang masih terjebak reruntuhan bangunan. 

Beberapa Foto Ikonik Saat Musibah Melanda

Beralih ke ruangan lain, bagian dari museum ini yang menurut saya sudah modern adalah ruang pameran tetap. Di tempat ini ada miniature rumah ada Aceh, tampilan visual keindahan alam serta keanekaragaman Aceh baik dari sisi kuliner maupun pakaian. Di sisi lain dari ruang pameran ini ada videotron berukuran besar yang menggambarkan bagaimana sebuah pantai yang tenang tiba-tiba berubah menjadi bencana mengerikan. Di ujung ruang pameran ini ada diorama bangunan-bangunan yang hancur setelah dilanda tsunami. Ada juga miniatur PLTD apung yang terbawa jauh ke daratan oleh derasnya gelombang tsunami.

Menggambarkan Terjadinya Bencana Secara Realistik

Miniatur Sisa Dahsyatnya Bencana

Dari ruangan modern ini saya eksplore beberapa ruangan lagi yang banyak diantaranya berisi foto-foto proses evakuasi, pembersihan bekas terdampak tsunami dan bantuan-bantuan asing yang banyak sekali. Satu hal lagi yang juga banyak ditampilkan dalam museum ini adalah upaya upaya perwujudan perdamaian dan rekonsiliasi antara pemerintah RI dengan warga Aceh yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Mengabadikan Kenangan Sekaligus Merajut dan Mempererat Kesatuan

Sebagai penutup, dari sisi arsitektur, museum ini sangat mengagumkan. Ini adalah museum terbaik yang pernah saya kunjungi. Penataannya penuh dengan makna. Setiap bagian atau ruang didalamnya didesain sedemikian rupa agar pengunjung dapat merasakan kedahsyatan bencana yang pernah terjadi. Di sisi lain, perancang museum juga mengingatkan pengunjung bahwa seberat dan sedahsyat apapun bencana yang menimpa, kita harus selalu berserah diri kepada-Nya. Terakhir, uluran bantuan dari saudara sebangsa dan negara-negara sahabat tentunya sedikit banyak dapat meringankan beban yang sedang dialami.

Rabu, 04 Desember 2024

Museum Aceh: Museum Yang Sangat Rekomended untuk Diexplore

Berbicara mengenai museum di Aceh, perhatian kita mungkin hanya akan tertuju pada museum Tsunami, Padahal ada lagi museum yang menurut saya menampilkan koleksi dan pengetahuan yang tidak kalah jika dibandingkan dengan Museum Tsunami. Museum yang saya maksud adalah museum Aceh. 

Rumoh Aceh di Kompleks Museum Aceh

Museum ini terletak di Jalan Sultan Mahmudsyah No. 10, Peuniti, Kec. Baiturrahman Banda Aceh. Akses museum ini cukup mudah dijangkau karena masih masuk dalam wilayah Kota Banda Aceh. Untuk masuk ke museum ini, pengunjung hanya perlu membayar Rp3.000 saja. Sangat murah jika dibandingkan dengan kesempatan pengunjung untuk dapat melihat koleksi dan pengetahuan yang dipunyai museum ini.

Dikutip dari situs Museum Aceh, museum ini didirikan pada tanggal 31 Juli 1915 dengan nama Atjeh Museum. Proses pendirian museum ini dipimpin oleh F.W.Stammeshous. Adapun peresmiannya dilakukan oleh Gubernur Sipil dan Militer Jenderal Belanda H.N.A. Swart. Setelah Indonesia merdeka, operasional Museum ini secara bergantian dikelola oleh Pemerintah Daerah Tk. II Banda Aceh (1945-1969), Badan Pembina Rumpun Iskandar Muda (Baperis) (1970-1975), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976-2002) dan saat ini dikelola dan menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Aceh. Sampai dengan tahun 2019, Museum Aceh memiliki jumlah koleksi mencapai 5.328 benda budaya dari berbagai jenis dan 12.445 buku dari berbagai judul yang berisi aneka macam ilmu pengetahuan.

Kesan pertama saya saat memasuki area museum ini adalah penataan yang rapi dan terawat serta megah. Ada beberapa gedung dalam area museum ini dan nampaknya kesemua gedung tersebut dioptimalkan penggunaannya. 

Rapi, Terawat dan Banyak Koleksi

Salah satu bangunan yang menyita perhatian saya adalah Rumoh Aceh. Bangunan ini merupakan bentuk rumah atau bangunan khas aceh yang berukuran besar dan ditopang oleh kayu-kayu pada bagian bawahnya. Rumoh Aceh memiliki karakteristik warna-warni yang mencolok perpaduan antara warna dominan hitam serta motif warna merah dan kuning serta putih. Sayangnnya waktu itu bangunan ini sedang dalam tahap renovasi sehingga pengunjung belum dapat mengakses bagian dalam Rumoh Aceh ini.

Beralih ke bangunan utama museum, ada ruang pameran tetap yang terdiri atas beberapa bagian yakni Bustan Dunia, Bustan Assalatin, Bustan Syuhada dan Bustan Budaya. Pada bagian Bustan Dunia menginformasikan kekayaan alam dan fauna yang ada di Aceh. Ada banyak hewan dan tumbuhan dari wilayah Aceh yang telah diawetkan yang dipamerkan di sini.

Dimulai Dari Alam

Bagian ke dua adalah Bustan Assalatin. Di bagian ini diinformasikan mengenai keadaan Aceh pada masa kerajaan Aceh Darussalam. Terdapat beberapa koleksi yang dipamerkan diantaranya maket kerajaan dan wilayah sekitarnya, gambaran peta kerajaan, baju kebesaran Sultan, replika cungkup makam sultan maupun pembesar kerajaan dan koleksi-koleksi lainnya. Yang tidak boleh dilupakan adalah koleksi beberapa kitab yang merupakan karya asli ulama Aceh maupun kitab terjemahan dari bahasa asing. Koleksi kitab ini masih tersimpan dan terawat dengan baik di museum ini. 

Replika Makam

Koleksi Kitab 

Di bagian lain pada Bustan Assalatin ini ada koleksi gambar maupun foto Sultan dan Sultanah yang memerintah Kesultanan Aceh Darussalam. Salah satu gambar Sultanah yang dipamerkan adalah Ratu Safiatuddin yang menjadi Sultanah karena menggantikan suaminya yang wafat. Hal ini sempat membuat kontroversi karena dianggap bertentangan dengan hukum Islam. Namun demikian Sultanah ini dapat memimpin kerajaannya dengan baik.

Timeline Sejarah Aceh

Beralih ke lantai 3 atau Bustanul Assyuhada, saya mendapatkan kesan bahwa museum ini sudah dikelola secara modern dan sangat baik. Tampilan koleksinya sangat informatif dan membuat pengunjung menjadi tertarik untuk mengeksplore baik koleksi maupun informasi yang dikandungnya. Di bagian ke tiga dari gedung museum ini, dipamerkan koleksi tentang foto-foto para tokoh dan pahlawan Aceh dalam perjuangan melawan penjajah. Tidak hanya itu, dipamerkan pula senjata-senjata yang digunakan dalam perang tersebut, baik senjata para pahlawan maupun para penjajah yang berniat menguasai Aceh. Ada senjata berupa pedang, senapan maupun Meriam. Koleksi lain pada Bagian ini adalah deretan para pahlawan wanita Aceh. Ada beberapa pahlawan yang sudah sangat familiar bagi kita seperti Cut Meutia, Cut Nyak Dien dan Laksamana Malahayati dan ada juga yang mungkin kita belum pernah mendengar namanya seperti Tengku Fakinah (Ahli Benteng), Pocut Meurah Beheue (Panglima Perang Lasykar Rakyat), Pocut Baren. Di sisi lain, ada juga foto-foto panglima kolonial Belanda yang pernah menginvasi dan menjajah Aceh beserta dengan deskripsi singkatnya.

Beralih ke lantai paling atas dalam museum ini adalah Bustan Budaya. Dalam bagian terakhir ini, dipamerkan kekayaan budaya Aceh diantaranya benda-benda kerajinan, peralatan sehari-hari, perhiasan dan pakaian khas Aceh. Di tempat pameran pakaian khas pernikahan ini saya baru mengetahui bahwa di Aceh ada 7 etnis atau suku yang mendiami wilayah Aceh di antaranya: Aceh, Tamiang, Singkil, Kluet, Gayo, Aneuk Jame, dan Aceh Tenggara. Ragam pakaian khas Aceh ini sangat unik, berwarna-warni dengan corak yang penuh makna.

Koleksi Kerajinan dan Budaya Aceh

Pakaian Adat dari Subetnis Aceh

Dari lantai empat gedung pameran ini saya melanjutkan explore museum ke gedung sebelah. Di depan gedung tengah ini terdapat 4 maket Masjid Raya Baiturrahman dari masa ke masa. Mulai dari maket pada saat Masjid baru berdiri hingga beberapa kali pemugaran dan terakhir setelah masjid ini dilanda gempa dan tsunami dahsyat pada Tahun 2004.

Sebenarnya masih ada satu lagi gedung pameran yang ada di area museum ini, namun saat itu sedang tidak melayani pengunjung karena sedang dilakukan penataan ulang. Semoga di lain kesempatan ada waktu untuk explore lebih jauh museum ini. 

Sekilas Informasi Tentang Marsose dan Snouck Hurgronje

Saya merasa beruntung karena bisa berkunjung ke museum ini. Saya juga merasa gembira karena sejarah dan peninggalan dari zaman yang telah lalu dapat diabadikan sehingga generasi penerus dapat belajar dan menghargai sejarahnya. Semoga daerah-daerah lain juga dapat membuat dan melestarikan museum semacam ini karena banyak generasi muda yang tidak mengetahui sejarah dan peninggalan serta kekayaan budaya yang berasal dari daerahnya.

Penuh Rasa Syukur di Masjid Raya Baiturrahman Aceh

Alhamdulillah, Maha Besar Allah dengan segala kuasanya. Saya sangat bersyukur diberi kesempatan untuk bisa secara langsung menunaika...