Sebelum ke inti dari tulisan ini, saya ingin mengetengahkan betapa
media sosial melakukan sesuatu yang sangat revolusioner. Media sosial telah
menjadi gebrakan baru dalam pola hubungan sosial. Selain menjadi alat
komunikasi, media sosial juga dapat menjadi media iklan yang sangat efektif.
Hal ini tercermin dalam contoh case dimana saya bisa mendapatkan informasi
sebuah event, lengkap dengan penjelasan mengenai harga tiket dan pilihan tempat
duduk yang tersedia. Luar biasa.
| Poster Resmi Pementasan Teater | Dari media sosial pula saya mendapatkan informasi mengenai event
teater Indonesia Kita yang akan mementaskan lakon Perempuan-Perempuan Pilihan
di Taman Ismail Marzuki. Setelah melakukan riset sebentar berdasarkan data di
internet, saya segera memesan tiket pertunjukan tersebut. Lagi-lagi melalui
aplikasi di media sosial. | Antrian Penonton |
Reputasi Indonesia Kita dalam menggelar pertunjukan teater sudah
sangat baik. Ditambah dengan pendukung acara baik dari para pemeran, penata
suara hingga musisi yang terlibat. Tidak heran jika tiket pertunjukan yang
dilangsungkan selama dua hari ini terjual habis. Reputasi dan pengalaman
tersebut menjadikan ekspektasi saya sangat tinggi terhadap pertunjukan ini,
apalagi lakon ini dimainkan di Teater Besar Taman Ismail Marzuki, sebuah
gedung teater yang sangat megah. Tata letaknya saya kira tidak kalah dengan
gedung teater di luar negeri. Susunan kursi dan tingkat dek penonton
mengingatkan saya pada setting gedung teater yang ada di film-film Hollywood.
Mengagumkan. | Di Dalam Teater Besar TIM |
Teater dengan judul Perempuan-perempuan Pilihan ini ditulis dan
disutradarai oleh Agus Noor. Pementas pada lakon kali ini diantaranya adalah
Dira Sugandi, Rieke Diah Pitaloka, Cak Lontong, Akbar, Marwoto, Rosianna
Silalahi, dan Merlyn Sopjan. Adapun
cerita dalam lakon ini mengisahkan tentang sebuah negeri yang semua
penduduknya adalah perempuan. Mulai dari rakyat jelata hingga pembesar nya
adalah perempuan. Seluruh negeri dalam keadaan aman dan sentosa dengan
seluruh system sosial berlangsung dengan sangat baik.
Keadaan yang sebelumnya tenang menjadi terusik karena mulai banyak
kasus dan adanya saling tuduh di antara penduduk. Dari sekian kasus yang
muncul, kasus yang paling menggegerkan adalah desas desus hamilnya salah satu
penduduk. Setelah berbagai upaya dilakukan untuk mencari kebenaran dan pihak
yang bertanggung jawab atas isu tersebut, akhirnya diketahui ternyata
terdapat banyak penduduk laki-laki yang menyamar menjadi perempuan. Cerita
berakhir dengan diterimanya laki-laki dalam system sosial di negeri perempuan
dengan syarat bahwa penduduk laki-laki harus patuh terhadap peraturan dan
menghormati perempuan dalam kesetaraan.
Ada satu hal lagi yang menjadi catatan saya. Dalam sebuah sesi, Merlyn
Sopjan yang merupakan transpuan melakukan monolog panjang tentang posisi
“perempuan” yang selalu berada dalam posisi salah, lemah dan tanpa dukungan.
Kata perempuan saya beri penekanan karena Merlyn Sopjan sejatinya merupakan
seorang transpuan. Sepenangkapan saya, Merlyn juga menyiratkan bahwa tidak
ada lembaga yang mau bahkan untuk sekedar mendengarkan keluhannya. Mereka
dianggap bukan penduduk sebenarnya dan eksistensinya dihindari oleh banyak
pihak. Mendengarkan langsung bagaimana monolog tersebut diucapkan dengan
lantang, bagi saya merupakan wujud ekspresi Merlyn sebagai transpuan tentang
bagaimana masyarakat memperlakukan kaumnya.
Kembali ke pementasan teater, menurut saya teater ini sangat
mengandalkan Cak Lontong dan Akbar serta Marwoto dalam menghibur penonton.
Berkali-kali sentilan mereka membuat penonton tertawa terpingkal-pingkal.
Harus saya akui bahwa Cak Lontong merupakan performer yang sangat berkualitas
dan cerdas.Berikutnya, pementasan ini banyak sekali menggunakan Bahasa Jawa dalam
dialognya. Dilihat dari para penonton yang terdiri dari berbagai macam latar
belakang, agaknya perlu diperhatikan agar bahasa mengurangi pemakaian Bahasa
Jawa agar semua penonton dapat memahami semua percakapan yang dilakukan oleh
para pementas. | Para Pengisi Acara |
Bagian lain yang tidak kalah penting dalam sebuah pertunjukan adalah
tata vahaya dan tata suara. Untuk tata cahaya, pementasan ini sangat terbantu
dengan tata cahaya yang sangat baik. Hal ini sedikit berbeda dengan tata
suara yang seharusnya bisa dimaksimalkan. Suara drum yang tidak menggunakan
bantuan pengeras suara alias murni, mungkin terdengar jelas di barisan kursi
bagian bawah atau depan. Namun di bagian de katas atau di bagian belakang
panggung suaranya akan kalah dengan suara instrument lain yang dibantu dengan
tambahan peralatan suara. | Belum Sesuai Ekspektasi Saya |
Secara umum, teater ini berjalan dengan baik. Namun harus saya akui kurang
memenuhi ekspektasi saya terutama terkait alur cerita dan kurangnya unsur
surprise dalam pementasan ini. Selain itu, saya merasa ada yang seharusnya
bisa dimaksimalkan dalam pementasan ini, diantaranya tata suara, transisi
antar setting lokasi dan dialog atau tektokan antar pemeran yang terkadang
kurang smooth.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar