Jumat, 14 Desember 2018

Kecelakaan Lion Air JT 610 dan Kenaikan Pangkat Anumerta


Peristiwa kecelakaan pesawat Udara Lion Air JT 610 di Tanjung Karawangmerupakan kecelakaan tragis yang merengut banyak korban jiwa. Diantara para penumpang yang menjadi korban dalam kecelakaan tersebut adalah berstatus PNS. Sebagian besar PNS yang menaiki pesawat udara tersebut berencana untuk mengikuti upacara di instansinya masing-masing, karena pada hari itu bertepatan dengan pelaksanaan upacara Sumpah Pemuda.
Sebagai salah satu bentuk penghargaan atas jasa dan pengabdian, Pemerintah Indonesia telah mengatur tentang hak-hak yang diperoleh PNS yang meninggal dalam pelaksanaan tugasnya. Tulisan berikut membahas tentang kenaikan pangkat anumerta, mulai dari dasar hukum, pengertian, prosedur dan hak-hak yang akan diterima.

Sumber Peraturan:
1.    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai.
2.    Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara.
3.  Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 12 Tahun 2002 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 Tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002. Sebagai informasi: PP Nomor 99 Tahun 2000 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sesuai PP Nomor 11 Tahun 2017, namun ketentuan pelaksanaan dari PP Nomor 99 Tahun 2000 tetap berlaku sepanjang belum diubah atau bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
4.  Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 5 Tahun 2016 tentang Pedoman Kriteria Penetapan Kecelakaan kerja, Cacat, dan Penyakit Akibat Kerja Serta Kriteria Penetapan Tewas Bagi Aparatur Sipil Negara. 

Pengertian Kenaikan Pangkat Anumerta
Ø  Salah satu jenis kenaikan pangkat selain kenaikan pangkat reguler, pilihan, dan pengabdian.
Ø  Pemberian Kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi yang diberikan kepada PNS yang dinyatakan tewas.
Ø  Pengertian tewas adalah
1.    Meninggal dunia dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya.
2.    Meninggal dunia dalam keadaan lain yang ada hubungannya dengan dinasnya, sehingga kematian itu disamakan dengan meninggal dunia dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya.
3. Meninggal dunia yang langsung diakibatkan oleh luka atau cacat jasmani atau cacat rohani yang didapat dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya.
4. Meninggal dunia karena perbuatan anasir yang tidak bertanggungjawab ataupun sebagai akibat tindakan anasir itu.
Ø  Pemberian kenaikan pangkat anumerta ditetapkan berlaku mulai tanggal, bulan dan tahun Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan tewas.

Kriteria Penetapan Tewas
Sesuai dengan Peraturan Kepala BKN Nomor 5 Tahun 2016, dalam Lampiran II tentang Kriteria Tewas, salah satu kriteria PNS dinyatakan tewas adalah PNS yang meninggal dunia  dalam keadaan yang ada hubungannya dengan dinas, sehingga kematiannya disamakan dengan meninggal dunia dalam menjalankan tugas kewajibannya. Lebih lanjut, Lampiran Peraturan Kepala BKN Nomor 5 Tahun 2016 mengatur bahwa Pegawai ASN yang dapat dinyatakan meninggal dunia dalam keadaan yang ada hubungannya dengan dinas, sehingga kematiannya disamakan dengan meninggal dunia dalam menjalankan tugas kewajibannya, apabila meninggal dunianya baik langsung atau tidak langsung sebagai akibat dari kecelakaan yang bukan karena kesalahannya pada saat perjalanan berangkat menuju tempat tugas atau pulang dari tempat tugas.
Lampiran Peraturan Kepala BKN di atas juga memuat ilustrasi dimana PNS yang meninggal karena kecelakaan yang bukan karena kesalahannya pada saat berangkat menuju kantornya masuk dalam kriteria tewas.

Prosedur:  
1.   Pimpinan unit kerja di tempat pegawai asn yang meninggal dunia mengusulkan penetapan tewas kepada ppk melalui kepala biro kepegawaian kepala badan kepegawaian daerah.
2. Berdasarkan usulan tersebut, PPK memeriksa syarat-syarat penetapan tewas sebagaimana ditentukan dalam Peraturan BKN Nomor 5 Tahun 2016;
3.  Sebelum menetapkan tewas, PPK berkoordinasi secara tertulis dengan Kepala BKN dengan melampirkan syarat-syarat yang telah ditentukan;
4.   Berdasarkan kordinasi tertulis tersebut, Kepala BKN melakukan verifikasi dan validasi terhadap syarat-syarat yang ditentukan;
5.  Hasil verifikasi dan validasi tersebut menjadi dasar bagi PPK untuk menetapkan atau tidak menetapkan tewas sesuai dengan hasil hasil verifikasi dan validasi dari Kepala BKN;

 Kelengkapan Dokumen Pengajuan Kenaikan Pangkat Anumerta:
1.       Surat Pengantar / Usulan dari Instansi;
2.       Salinan/foto copy sah SK CPNS;
3.       Salinan/foto copy sah keputusan dalam pangkat dan atau golongan ruang terakhir;
4.   Berita acara dari pejabat yang berwajib tentang kejadian yang mengakibatkan yang bersangkutan meninggal dunia;
5.       Visum et repertum dari dokter;
6.  Salinan/foto copy sah surat perintah penugasan, atau surat keterangan yang menerangkan bahwa calon Pegawai Negeri Sipil/Pegawai Negeri Sipil tersebut meninggal dunia dalam rangka menjalankan tugas kedinasan;
7.  Laporan dari pimpinan unit kerja serendah-rendahnya eselon III kepada pejabat pembina kepegawaian yang bersangkutan tentang peristiwa yang mengakibatkan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan tewas;
8.       Salinan/foto copy sah keputusan sementara kenaikan pangkat anumerta; dan
9.     Bahan Kelengkapan ususl pemberian pensiun janda/duda: Daftar Susunan Keluarga, Surat/Akta Nikah, Surat Keterangan Kejandaan/Kedudaan, Akta Kelahiran Anak, dan pas foto ahli waris.

Hak Yang Diterima PNS yang Dinyatakan Tewas:
1.    Kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi (Keputusan Kepala BKN Nomor 12 Tahun 2002);
2.    Pasangan (Janda/Duda) mendapatkan pensiun sebesar 72% dari dasar pensiun; Jika PNS yang tewas tidak mempunyai pasangan (janda/duda) maka pensiunnya diberikan kepada anaknya, dengan syarat anaknya belum berusia 25 tahun, tidak mempunyai penghasilan sendiri dan belum atau belum pernah menikah; Jika PNS yang tewas tidak mempunyai pasangan (janda/duda) dan anak, maka pension diberikan kepada orang tuanya sebesar 20% dari pensiun janda/duda sebagaimana dimaksud poin 2 (20% dari 72%) (Pasal 17, 18 dan 20 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 1969).
3.   Santunan Kematian Kerja sebesar 60% (enam puluh persen) dikali 80 (delapan puluh) Gaji terakhir yang dibayarkan 1 (satu) kali (Pasal 15 PP Nomor 70 Tahun 2015).
4.     Uang Duka Tewas sebesar enam kali gaji terakhir yang dibayarkan sekali (Pasal 16 PP Nomor 70 Tahun 2015).
5.   Biaya Pemakaman sebesar Rp10.000.000,- yang dibayarkan satu kali (Lampiran II Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 5 Tahun 2016);
6.  Bantuan beasiswa untuk anak PNS yang dinyatakan tewas (Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 5 Tahun 2016).

Komentar:
Salah satu pengertian tewas menurut peraturan di atas berbunyi “Meninggal dunia dalam keadaan lain yang ada hubungannya dengan dinasnya, sehingga kematian itu disamakan dengan meninggal dunia dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya”. Merujuk pada bunyi ketentuan tersebut, maka PNS yang meninggal karena kecelakaan pada saat menuju ke kantornya untuk melaksanakan kewajibannya sebagai Aparatur Sipil Negara masuk dalam kategori tewas. Hal ini dikarenakan perjalanan yang dilakukannya ada hubungannya dengan dinasnya. Hal ini diperkuat dengan kriteria tewas dalam Lampiran II Huruf B angka 2 Peraturan Kepala BKN Nomor 5 Tahun 2016.
Dengan mengambil kesimpulan di atas, maka PNS BPK yang meninggal dalam kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 masuk dalam kategori tewas. Adapun alasan penguat dari argumen ini adalah:
1.   PNS BPK tersebut merupakan PNS yang ditempatkan di Perwakilan Provinsi Bangka dan Belitung sesuai dengan Keputusan Sekretaris Jenderal BPK selaku PPK.
2.  Sebagai bukti bahwa PNS BPK tersebut telah menjalankan kewajibannya, pimpinan unit perwakilan BPK setempat telah membuatkan Surat Perintah Melaksanakan Tugas.
3.  Keberangkatan para PNS BPK tersebut dilaksanakan pada hari Senin pagi agar bisa melaksanakan absen pagi sesuai ketentuan organisasi, dengan kata lain para PNS BPK tersebut sedang menuju ke tempat tugasnya.
4.  Kecelakaan yang menimpa para PNS BPK dalam penerbangan tersebut bukan karena kesalahan atau kesengajaan para PNS BPK tersebut.




Senin, 22 Oktober 2018

Urgensi Pemberhentian Sementara PNS dan Pengaktifan Kembali PNS setelah Vonis Pengadilan

Berkaitan dengan proses peradilan atas tindak pidana yang dilakukan oleh PNS, berikut hal-hal yang perlu menjadi perhatian:
A.     Ketentuan Hukum dan Analisa
1.      Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil
a)  Pasal 1 angka 22 menyatakan bahwa “Pemberhentian Sementara sebagai PNS adalah pemberhentian yang mengakibatkan PNS kehilangan statusnya sebagai PNS untuk sementara waktu”.
b)  Pasal 276 huruf c menyatakan bahwa “Seorang pegawai negeri sipil diberhentikan sementara apabila ditahan sebagai tersangka tindak pidana”.
Sesuai dengan ketentuan ini, PNS yang ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana diberhentikan sementara. Penahanan dalam ketentuan ini adalah penahanan PNS yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam kasus pidana. Dalam ketentuan tentang hukum acara pidana, pihak yang mendapat salinan surat penahanan dan pemberitahuan penangkapan adalah keluarga tersangka dan penasehat hukum tersangka. Instansi yang menaungi PNS terkait tidak mendapatkan salinan surat penahanan tersebut, sehingga instansi terkait harus aktif untuk mendapatkan salinan dimaksud. Hal ini seringkali menjadi kendala dalam proses penetapan keputusan pemberhentian sementara karena APH tidak segera memberikan salinan surat penahanan sedangkan PP 11 Tahun 2017 mengamanatkan bahwa Keputusan Pemberhentian sementara tersebut berlaku mulai akhir bulan PNS tersebut ditahan.
c)    Pasal 277 ayat (4) menyatakan bahwa “PNS yang ditahan menjadi tersangka tindak pidana diberhentikan sementara sebagai PNS”.
Pasal ini merupakan penegasan tentang pemberian status diberhentikan sementara bagi PNS yang ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana.
d)  Pasal 280 ayat (1) menyatakan bahwa “Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 huruf c berlaku akhir bulan sejak PNS ditahan”.
Pasal ini mengatur tentang awal berlakunya keputusan pemberhentian sementara yakni pada akhir bulan sejak PNS ditahan. Pasal ini merupakan dasar bagi PPK dalam mengeluarkan Keputusan tentang masa berlaku pemberhentian sementara pegawai Ybs. Karena proses penyusunan dan penandatanganan Keputusan pemberhentian sementara tersebut tidak serta merta dapat segera selesai, maka tanggal berlakunya Keputusan tersebut dapat berlaku mundur. Hal ini berkaitan dengan perhitungan pemotongan gaji dan penghasilan PNS yang dikenai pemberhentian sementara. Walaupun Keputusan PPK tentang Pemberhentian Sementara dapat berlaku mundur, seyogianya proses penetapan pemberhentian sementara ini dapat dilaksanakan dengan cepat demi kepastian hukum dan ketertiban administrasi.
e)     Pasal 281 menyatakan bahwa
“(1) PNS yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 huruf c tidak diberikan penghasilan.
(2) PNS yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan uang pemberhentian sementara.
(3) Uang pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari penghasilan jabatan terakhir sebagai PNS sebelum diberhentikan sementara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Uang pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan pada bulan berikutnya sejak ditetapkannya pemberhentian sementara.”
Konsekuensi dari pemberhentian sementara PNS adalah hilangnya hak PNS atas penghasilan. PNS yang diberhentikan sementara tidak diberikan penghasilan hingga diaktifkan kembali. PNS yang dikenai pemberhentian sementara diberikan uang pemberhentian sementara sebesar 50% dari penghasilan jabatan terakhir sebelum diberhentikan sementara. Uang pemberhentian sementara tersebut diberikan pada bulan berikutnya sejak ditetapkannya pemberhentian sementara.
Sebagai ilustrasi, seorang PNS ditahan pada tanggal 15 September sedangkan pada 1 Oktober mendapat kenaikan gaji. Sesuai dengan ketentuan PP 11 Tahun 2017, maka perhitungan uang pemberhentian sementara adalah berdasarkan penghasilan jabatan pada bulan September.
f)  Pasal 282 menyatakan bahwa “Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 huruf c berlaku sejak dikenakan penahanan sampai dengan:
a.  dibebaskannya tersangka dengan surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan oleh pejabat yang berwenang; atau
b.  ditetapkannya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.”
Pasal ini mengatur tentang jangka waktu pemberhentian sementara yakni dimulai pada saat seorang PNS ditahan APH sampai dengan:
1.    Dibebaskan dari penyidikan oleh Penyidik;
2.    Dibebaskan dari penuntutan oleh jaksa Penuntut; dan
3.   Penetapan putusan oleh majelis hakim, baik vonis bebas maupun vonis bersalah.
Sebagai ilustrasi Pasal 282 huruf b, untuk PNS yang dijatuhi pidana penjara selama 1 tahun untuk tindak pidana bukan berencana atau tindak pidana korupsi, pemberhentian sementara PNS tersebut berlaku sejak ditetapkannya penahanan hingga ditetapkannya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana status PNS yang masa pemberhentian sementaranya telah berakhir dengan pembacaan vonis majelis hakim sampai dengan PNS tersebut selesai menjalani pidana. PP 11 Tahun 2017 tidak secara eksplisit menyebut status PNS yang sedang menjalani masa hukuman ini, namun berdasarkan bunyi Pasal 249 ayat (1), yang bersangkutan masih berstatus PNS namun non aktif dan tidak menerima hak kepegawaiannya sampai diaktifkan kembali sebagai PNS.
g)     Pasal 286 menyatakan bahwa
“(1)  PNS yang telah selesai menjadi pejabat negara, komisioner, atau anggota lembaga nonstruktural, atau PNS yang dinyatakan tidak bersalah oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, mengajukan pengaktifan kembali sebagai PNS kepada PPK melalui PyB paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung setelah yang bersangkutan diberhentikan sebagai pejabat negara, komisioner, atau anggota lembaga nonstruktural, atau PNS yang dinyatakan tidak bersalah oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2)  PPK menetapkan keputusan pengaktifan kembali sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)   Keputusan pengaktifan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah usul pengaktifan kembali diterima.”

Berdasarkan ketentuan di atas, PNS yang dikenai pemberhentian sementara harus aktif mengajukan pengaktifan kembali kepada PPK melalui PyB. PP 11 Tahun 2017 juga memuat batas waktu penyampaian permohonan pengaktifan kembali tersebut yakni 30 hari sejak PNS bersangkutan dinyatakan tidak bersalah. Selain itu PPK juga diberi batas waktu dalam menetapkan keputusan pengaktifan kembali tersebut. PP 11 tahun 2017 tidak memuat sanksi lebih lanjut jika permohonan dan penetapan keputusan pengaktifan kembali PNS melebihi batas waktu yang ditentukan.

B.     Kesimpulan
1.  PNS yang ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana diberhentikan sementara. Pemberhentian sementara tersebut berlaku sejak dikenakan penahanan sampai dengan ditetapkannya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sesuai dengan kesimpulan ini, seharusnya proses pemberhentian terhadap PNS yang terbukti melakukan kejahatan pidana harus melalui proses pemberhentian sementara terlebih dahulu. Oleh karena itu APH yang menangkap dan menahan seorang PNS karena menjadi tersangka tindak pidana, seharusnya menyampaikan tembusan atau salinan surat penahanan ke Instansi yang menaungi PNS tersebut.
2. PNS yang dikenakan pemberhentian sementara mendapat uang pemberhentian sementara.
3. Prosedur pengaktifan kembali PNS setelah dikenai pemberhentian sementara memerlukan langkah aktif dari PNS yang bersangkutan dan dalam waktu yang sudah ditentukan. Namun PP 11 Tahun 2017 belum memuat sanksi apabila pengajuan pengaktifan kembali terlambat dilaksanakan.


Kajian Tentang Prosedur Pemberhentian Sementara PNS yang Menjadi Tersangka Tindak Pidana

Pertanyaan: Bagaimanakah status dan prosedur pemberhentian sementara bagi PNS yang menjadi tersangka dan/atau ditahan karena disangka melakukan tindak pidana?
Ketentuan Hukum:
1.   Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
a.   Pasal 1 angka 21 menyebutkan bahwa “Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau  penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
b.      Pasal 22 ayat (1) menyatakan bahwa “ Jenis penahanan dapat berupa:
a. Penahanan rumah tahanan negara;
b. Penahanan rumah;
c. Penahanan kota.”
c.    Pasal 22 ayat (3) menyatakan bahwa “Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan”.
2.      Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS
a.  Pasal 64 ayat (1) huruf b menyebutkan bahwa “PNS diberhentikan dari jabatan administrasi apabila diberhentikan sementara dari PNS”.
b.   Pasal 65 ayat (1) menyatakan bahwa “Pemberhentian dari JA diusulkan oleh PyB kepada PPK”. Kemudian, ayat (2) menyebutkan bahwa “PPK menetapkan keputusan pemberhentian dalam JA”.
c.  Pasal 276 huruf c menyebutkan bahwa “PNS diberhentikan sementara, apabila ditahan karena menjadi tersangka.”
d.  Pasal 280 ayat (1) menyebutkan bahwa, “Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 huruf c berlaku akhir bulan sejak PNS ditahan.”
e.    Pasal 284 ayat (1) menyebutkan bahwa “Pemberhentian sementara PNS diusulkan oleh:
a.  PPK kepada Presiden bagi PNS yang menduduki JPT utama, JPT madya, dan JF ahli utama; atau
b.  Pejabat yang Berwenang kepada PPK bagi PNS yang menduduki JPT pratama, JA, dan JF selain JF ahli utama”.
f.   Pasal 284 ayat (2) Menyatakan bahwa “Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemberhentian sementara sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
g. Pasal 284 ayat (3) menyatakan bahwa “Keputusan pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah usul pemberhentian sementara diterima”.
Analisa:
1. Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, PNS yang ditahan karena menjadi tersangka dalam perkara pidana diberhentikan sementara.
2.  Sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum acara Pidana (KUHAP), jenis penahanan atas tersangka terdiri atas tiga jenis yakni: penahanan rumah tahanan negara, penahanan rumah dan penahanan kota. Ketentuan lebih lanjut menyatakan bahwa tersangka yang dikenai penahanan kota dikenai wajib lapor diri sesuai dengan waktu yang ditentukan.
3.  Pemberhentian PNS yang ditahan karena menjadi tersangka berlaku akhir bulan sejak PNS tersebut ditahan.
4.    Prosedur pemberhentian sementara PNS yang ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana dimulai dengan pengusulan oleh Pejabat yang Berwenang kepada Pejabat Pembina Kepegawaian bagi PNS yang menduduki JPT pratama, JA, dan JF selain JF ahli utama. Pada lembaga BPK, Pejabat yang Berwenang adalah Kepala Biro SDM, sedangkan Pejabat Pembina Kepegawaian dijabat oleh Sekretaris Jenderal BPK.
5.   Berdasarkan usulan dari Pejabat yang Berwenang, Pejabat Pembina Kepegawaian menetapkan keputusan pemberhentian sementara PNS yang ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana.
6.  Sejak usulan pemberhentian sementara disampaikan oleh Pejabat yang Berwenang, Pejabat Pembina Kepegawaian dalam jangka waktu paling lama 14 hari menetapkan Keputusan pemberhentian sementara untuk PNS dimaksud.
7.   Sebagai konsekuensi dari Keputusan pemberhentian sementara terhadap PNS yang menduduki jabatan administrasi, maka PNS tersebut diberhentikan dari jabatan administrasinya.
8.   Pemberhentian dari jabatan administrasi diusulkan oleh Pejabat yang Berwenang kepada Pejabat Pembina Kepegawaian. Atas usulan tersebut, Pejabat Pembina Kepegawaian menetapkan keputusan pemberhentian dalam jabatan administrasi.
9.      Tambahan:
a.    Sebagai dasar pemberhentian sementara, Pejabat yang Berwenang agar mendapatkan salinan surat perintah penyidikan dan surat yang menyatakan status seorang PNS sebagai tersangka, dan/atau surat perintah penahanan dari aparat penegak hukum. Prosedur ini kemungkinan akan memakan waktu yang relatif lama dan dapat menyebabkan tanggal penetapan Keputusan pemberhentian sementara jauh lebih lama dari saat penetapan penahanan PNS terkait.
b.      Sebagai perbandingan, berdasarkan riset pada Kanwil Kemenkumham Jawa Tengah tentang prosedur pemberhentian sementara terhadap PNS yang ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana, penetapan Keputusan Pemberhentian Sementara oleh PPK berjarak 5 bulan dari saat PNS terkait ditetapkan sebagai tersangka. Walaupun demikian, Keputusan dari PPK Kanwil Kemenkumham Jawa Tengah menyatakan bahwa Keputusan pemberhentian sementara tersebut berlaku sejak akhir bulan PNS tersebut dinyatakan sebagai tersangka. Selain itu, terhadap PNS terkait dilakukan perhitungan ulang atas gaji yang diterima sejak PNS terkait ditetapkan sebagai tersangka.
Kesimpulan:
Proses penahanan oleh aparat penegak hukum dapat berupa penahanan rumah tahanan negara, penahanan rumah dan penahanan kota. Terhadap PNS yang menjadi tersangka dan ditahan oleh aparat penegak hukum, maka terhadap PNS tersebut dikenakan pemberhentian sementara. Proses pemberhentian sementara diusulkan oleh Pejabat yang Berwenang dan ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian. Sebagai konsekuensi dari pemberhentian sementara, jika PNS tersebut menduduki suatu jabatan administrasi, maka PNS tersebut diberhentikan dari jabatan administrasinya. Pemberhentian dari jabatan administrasi diusulkan oleh Pejabat yang Berwenang dan ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian.
Sumber:
1.    Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
2.    Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.
3.  Mahmud, A. (2010). Kajian Yuridis Mengenai Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri Sipil yang Diduga Terlibat Tindak Pidana Penipuan (Studi Kasus di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah) (Skripsi). Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Senin, 01 Oktober 2018

Analisa Singkat tentang Pemberhentian PNS Karena Diputus Pidana Berdasarkan Putusan yang Sudah Inkracht

pixabay.com
Rumusan Masalah: Bagaimana konsekuensi terhadap PNS dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap?

Berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS:

  • Pasal 247 menyatakan bahwa “PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan tidak berencana”.
  • Pasal 248 ayat (1) menyatakan bahwa “PNS yang dipidana dengan pidana penjara 2 (dua) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana tidak dengan berencana, tidak diberhentikan sebagai PNS apabila:
  1. perbuatannya tidak menurunkan harkat dan martabat dari PNS;
  2. mempunyai prestasi kerja yang baik;
  3. tidak mempengaruhi lingkungan kerja setelah diaktifkan kembali; dan
  4. tersedia lowongan jabatan.
  • Pasal 248 ayat (2) menyatakan bahwa “PNS yang dipidana dengan pidana penjara kurang dari 2 (dua) tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana tidak dengan berencana, tidak diberhentikan sebagai PNS apabila tersedia lowongan Jabatan.”
  • Pasal 250 menyatakan bahwa “PNS diberhentikan tidak dengan hormat apabila:
  1. melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. dipidana dengan pidana penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan Jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan Jabatan dan/atau pidana umum;
  3. menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; atau
  4. dipidana dengan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana.
  • Pasal 251 menyatakan bahwa “PNS yang dipidana dengan pidana penjara kurang dari 2 (dua) tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan berencana, diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS.”

Analisa:
  1. PP 11/2017 menegaskan, PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan tidak berencana. Yang menjadi fokus dalam pasal ini adalah putusan yang sudah inkracht, pidana dua tahun atau lebih serta perbuatan pidana yang dilakukan bukan tindak pidana berencana.
  2. Terhadap PNS yang dijatuhi hukuman pidana dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang inkracht karena melakukan tindak pidana tidak dengan berencana, menurut PP ini, tidak diberhentikan sebagai PNS apabila:
  • perbuatannya tidak menurunkan harkat dan martabat dari PNS;
  • mempunyai prestasi kerja yang baik;
  • tidak mempengaruhi lingkungan kerja setelah diaktifkan kembali; dan
  • tersedia lowongan Jabatan.
  1. Terhadap PNS yang dipidana dengan pidana penjara kurang dari 2 (dua) tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana tidak dengan berencana, tidak diberhentikan sebagai PNS apabila tersedia lowongan Jabatan. Kata kunci disini adalah pidana yang dijatuhkan kurang dari 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan tidak dengan berencana. Lebih lanjut pasal ini menyatakan bahwa PNS tersebut tidak diberhentikan apabila tersedia lowongan jabatan. Berdasarkan ketentuan berikutnya, jika dalam jangka waktu dua tahun tidak ada lowongan untuk PNS tersebut, maka PNS tersebut diberhentikan dengan hormat.
  2. PNS yang melakukan tindak pidana jabatan atau tindak pidana yang ada hubungannya dengan dengan jabatan diberhentikan tidak dengan hormat. Pemberhentian dengan tidak hormat juga dijatuhkan untuk PNS yang dijatuhi pidana dua tahun atau lebih dan tindak pidana yang dilakukan dengan berencana.
  3. Terhadap PNS  yang dijatuhi pidana yang kurang dari dua tahun, apabila pidana yang dilakukan merupakan pidana dengan berencana, PNS tersebut diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri.
  4. PNS yang melakukan tindak pidana jabatan atau tindak pidana yang ada hubungannya dengan dengan jabatan diberhentikan tidak dengan hormat. Pemberhentian dengan tidak hormat juga dijatuhkan untuk PNS yang dijatuhi pidana dua tahun atau lebih dan tindak pidana yang dilakukan dengan berencana.
  5. Terhadap PNS  yang dijatuhi pidana yang kurang dari dua tahun, apabila pidana yang dilakukan merupakan pidana dengan berencana, PNS tersebut diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri.
Kesimpulan:
  1. Pidana penjara dua tahun atau lebih dan bukan tindak pidana berencana: dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan. PNS yang dijatuhi pidana penjara lebih dari dua tahun dan bukan tindak pidana berencana tersebut tidak diberhentikan sebagai PNS apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan.
  2. Pidana penjara kurang dua tahun dan bukan pidana berencana: tidak diberhentikan, jika masih terdapat lowongan jabatan. Berdasarkan ketentuan selanjutnya dalam PP ini, jika dalam jangka waktu dua tahun tidak ada lowongan untuk PNS tersebut, maka PNS tersebut diberhentikan dengan hormat.
  3. Pidana penjara kurang dari dua tahun namun pidana berencana: diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri.
  4. Pidana penjara lebih dari dua tahun dan pidana berencana: Pemberhentian dengan tidak hormat.
  5. PNS yang melakukan tindak pidana jabatan atau tindak pidana yang ada hubungannya dengan dengan jabatan diberhentikan tidak dengan hormat.

Kerkhof Peucut Aceh: Makam Putera Raja dan Kuburan Masal Warga Belanda pada Masa Kolonial

Aceh mempunyai banyak sekali lokasi wisata sejarah. Dari sekian lokasi wisata sejarah tersebut ada Kerkhof Peucut Aceh sebagai lokasi yang m...