Beberapa hari lalu karena sedang suntuk di kosan,
saya memutuskan untuk night ride keliling kota Jakarta dengan menggunakan sepeda motor. Pada night ride tanpa
tujuan jelas tersebut saya melewati arah Meruya Utara. Di daerah ini saya
pernah nge-kos selama beberapa bulan saat menempuh kursus Bahasa Inggris
sebagai persiapan pendidikan lanjutan. Kebetulan saat melewati daerah ini,
saya melihat warung bubur kacang ijo langganan saya. Saya putuskan untuk
mampir sejenak beristirahat sambil bersilaturahmi dengan si bapak penjual burjo. Percakapan diawali dengan basa-basi biasa tentang kabar dan kondisi terkini. Topik percakapan kemudian berganti membahas pandemi covid setelah beliau memperhatikan tampilan saya yang bermasker double dan mengambil jarak aman saat berdiskusi. Dalam pandangannya, tidak ada yang namanya pandemi covid karena penyakit dan gejalanya tidak terlihat sebagaimana contoh jika terdapat luka di bagian tubuh yang terlihat dengan mata. Ketika saya sampaikan bahwa saya adalah
survivor covid yang hampir satu bulan dirawat dan dikarantina dia menunjukkan ekspresi
yang menurut saya semacam tidak percaya. Karena melihat kondisi saya yang
terlihat bugar, dia meyakini bahwa virus ini tidaklah berbahaya. Justru
berita di media massa dan pemerintahlah yang membuat kondisi mencekam yang
pada gilirannya membuat orang menjadi panik dan memperburuk keadaan.
Menurutnya, apabila orang-orang santai dan menganggapnya tidak ada, maka
semua akan baik-baik saja. Menanggapi hal itu, saya sampaikan bahwa ada
beberapa rekan kerja saya yang meninggal pada saat dalam perawatan dengan
diagnosa covid. Saya juga menyampaikan bahwa hasil foto rontgen paru-paru
saya pada saat menjalani karantina menunjukkan adanya corakan bronchitis dan
adanya flek khas penderita covid. Saya ingin menyampaikan bahwa penyakit ini berbahaya bagi sebagian orang, utamanya yang mempunyai penyakit penyerta. Namun demikian, penyintas
covid pun tidak semuanya bebas masalah bawaan setelah dinyatakan negatif covid. Perbincangan masih berlangsung hingga beberapa saat kemudian, saya sampai pada kesimpulan bahwa saya harus mengalihkan topik pembahasan covid ke topik pembahasan yang lain. Kesimpulan itu saya ambil setelah mendengar opininya lebih lanjut tentang covid dan masa pandemik ini. Saya tidak berkompeten menjelaskan bagaimana penyebaran covid bisa menjadi hal yang membahayakan. Saya juga merasa tidak perlu dan tidak akan mampu menyampaikan argumentasi dibalik kebijakan-kebijakan terkait pencegahan covid. Diantaranya pemakaian masker, jaga jarak, menjaga kerumunan dan yang paling sensitif, penutupan sementara tempat ibadah. Baginya kebijakan-kebijakan tersebut hanya menyusahkan masyarakat. Padahal selalu ada alasan, studi serta opsi-opsi yang telah dikaji dibalik diambilnya kebijakan-kebijakan tersebut. Berkaca dari silaturahmi saya malam itu,
terbersit beberapa pertanyaan di benak saya. Pertanyaan yang paling mendasar
adalah, bagaimana proses atau metode seseorang berfikir hingga kemudian menyimpulkan
bahwa sesuatu itu benar dan sesuatu yang lain salah. Dikaitkan dengan masa
pandemi ini banyak sekali informasi yang beredar. Namun sayangnya tidak
semua informasi tersebut benar dan valid. Yang menjadi masalah adalah, informasi yang
tidak benar tersebut terkadang menjadi viral dan dijadikan patokan untuk
menentukan sesuatu itu benar atau salah, baik atau buruk. Apabila suatu
informasi yang salah diyakini benar dan dijadikan patokan, maka usaha untuk
mengcounter informasi dan pemahaman yang salah tersebut pastinya membutuhkan effort
yang besar. Metode dan proses berfikir seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor seperti lingkungan, pendidikan, tingkat ekonomi dan pengalaman pribadi menurut saya adalah diantara faktor-faktor yang sangat berpengaruh pada seseorang hingga bermuara pada munculnya sebuah sikap dalam menghadapi permasalahan atau fenomena tertentu. Lebih lanjut, dalam pandangan saya, faktor yang sangat berpengaruh dalam hal ini adalah kualitas pendidikan dan tingkat literasi seseorang. Semakin tinggi pendidikan dan tingkat literasi seseorang akan berimbas pada semakin baiknya pemahaman atas situasi yang terjadi. Selain itu, tingkat pendidikan yang tinggi dan literasi yang baik akan sangat berguna pada masa dimana banyak sekali informasi yang beredar. Informasi yang sekian banyak tersebut dapat dipilah dan dipisahkan antara informasi yang valid dan berguna dengan informasi yang menyesatkan. Jika seseorang hanya mencari informasi sesuai harapannya serta tidak membudayakan berfikir kritis atas informasi yang diperolehnya maka akan sulit untuk mengubah persepsinya atas suatu topik. Tugas berat pemerintah dan orang-orang yang aware terhadap bahayanya virus ini antara lain adalah tetap memberikan semangat kepada masyarakat yang sudah mulai lelah untuk tetap melaksanakan protokol kesehatan. Semakin taat dan sabar masyarakat dalam mengikuti anjuran prokes, maka akan semakin cepat pandemic ini ditangani. Tugas berat lainnya adalah menumbuhkan awareness dari kelompok masyarakat yang sejak awal tidak mempercayai adanya virus ini termasuk mengcounter hoax-hoax yang sudah terlanjur dipercayai kebenarannya oleh sebagian masyarakat. |
Minggu, 22 Agustus 2021
Membahas Pandemi di Warung Burjo
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kerkhof Peucut Aceh: Makam Putera Raja dan Kuburan Masal Warga Belanda pada Masa Kolonial
Aceh mempunyai banyak sekali lokasi wisata sejarah. Dari sekian lokasi wisata sejarah tersebut ada Kerkhof Peucut Aceh sebagai lokasi yang m...
-
Saya cukup gembira melihat bahwa kini masyarakat pedesaan bisa memanfaatkan peluang bisnis di daerahnya sendiri. Salah satu model peluan...
-
Ada banyak cara untuk menghabiskan waktu pada saat akhir pekan di Jakarta, salah satunya adalah dengan mengunjungi museum untuk mengenang d...
-
Syukur alhamdulillah pada hari Kamis 27 Desember 2018 lalu, saya berkesempatan mengikuti pengajian kitab Hikam di pondok pesantren Lirboyo...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar