Minggu, 22 Agustus 2021

Membahas Pandemi di Warung Burjo

Beberapa hari lalu karena sedang suntuk di kosan, saya memutuskan untuk night ride keliling kota Jakarta dengan menggunakan sepeda motor. Pada night ride tanpa tujuan jelas tersebut saya melewati arah Meruya Utara. Di daerah ini saya pernah nge-kos selama beberapa bulan saat menempuh kursus Bahasa Inggris sebagai persiapan pendidikan lanjutan. Kebetulan saat melewati daerah ini, saya melihat warung bubur kacang ijo langganan saya. Saya putuskan untuk mampir sejenak beristirahat sambil bersilaturahmi dengan si bapak penjual burjo.

Percakapan diawali dengan basa-basi biasa tentang kabar dan kondisi terkini. Topik percakapan kemudian berganti membahas pandemi covid setelah beliau memperhatikan tampilan saya yang bermasker double dan mengambil jarak aman saat berdiskusi. Dalam pandangannya, tidak ada yang namanya pandemi covid karena penyakit dan gejalanya tidak terlihat sebagaimana contoh jika terdapat luka di bagian tubuh yang terlihat dengan mata. 

Ketika saya sampaikan bahwa saya adalah survivor covid yang hampir satu bulan dirawat dan dikarantina dia menunjukkan ekspresi yang menurut saya semacam tidak percaya. Karena melihat kondisi saya yang terlihat bugar, dia meyakini bahwa virus ini tidaklah berbahaya. Justru berita di media massa dan pemerintahlah yang membuat kondisi mencekam yang pada gilirannya membuat orang menjadi panik dan memperburuk keadaan. Menurutnya, apabila orang-orang santai dan menganggapnya tidak ada, maka semua akan baik-baik saja. Menanggapi hal itu, saya sampaikan bahwa ada beberapa rekan kerja saya yang meninggal pada saat dalam perawatan dengan diagnosa covid. Saya juga menyampaikan bahwa hasil foto rontgen paru-paru saya pada saat menjalani karantina menunjukkan adanya corakan bronchitis dan adanya flek khas penderita covid. Saya ingin menyampaikan bahwa penyakit ini berbahaya bagi sebagian orang, utamanya yang mempunyai penyakit penyerta. Namun demikian, penyintas covid pun tidak semuanya bebas masalah bawaan setelah dinyatakan negatif covid.

Perbincangan masih berlangsung hingga beberapa saat kemudian, saya sampai pada kesimpulan bahwa saya harus mengalihkan topik pembahasan covid ke topik pembahasan yang lain. Kesimpulan itu saya ambil setelah mendengar opininya lebih lanjut tentang covid dan masa pandemik ini. Saya tidak berkompeten menjelaskan bagaimana penyebaran covid bisa menjadi hal yang membahayakan. Saya juga merasa tidak perlu dan tidak akan mampu menyampaikan argumentasi dibalik kebijakan-kebijakan terkait pencegahan covid. Diantaranya pemakaian masker, jaga jarak, menjaga kerumunan dan yang paling sensitif, penutupan sementara tempat ibadah. Baginya kebijakan-kebijakan tersebut hanya menyusahkan masyarakat. Padahal selalu ada alasan, studi serta opsi-opsi yang telah dikaji dibalik diambilnya kebijakan-kebijakan tersebut.

Berkaca dari silaturahmi saya malam itu, terbersit beberapa pertanyaan di benak saya. Pertanyaan yang paling mendasar adalah, bagaimana proses atau metode seseorang berfikir hingga kemudian menyimpulkan bahwa sesuatu itu benar dan sesuatu yang lain salah. Dikaitkan dengan masa pandemi ini banyak sekali informasi yang beredar. Namun sayangnya tidak semua informasi tersebut benar dan valid. Yang menjadi masalah adalah, informasi yang tidak benar tersebut terkadang menjadi viral dan dijadikan patokan untuk menentukan sesuatu itu benar atau salah, baik atau buruk. Apabila suatu informasi yang salah diyakini benar dan dijadikan patokan, maka usaha untuk mengcounter informasi dan pemahaman yang salah tersebut pastinya membutuhkan effort yang besar.

Metode dan proses berfikir seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor seperti lingkungan, pendidikan, tingkat ekonomi dan pengalaman pribadi menurut saya adalah diantara faktor-faktor yang sangat berpengaruh pada seseorang hingga bermuara pada munculnya sebuah sikap dalam menghadapi permasalahan atau fenomena tertentu. Lebih lanjut, dalam pandangan saya, faktor yang sangat berpengaruh dalam hal ini adalah kualitas pendidikan dan tingkat literasi seseorang. Semakin tinggi pendidikan dan tingkat literasi seseorang akan berimbas pada semakin baiknya pemahaman atas situasi yang terjadi. Selain itu, tingkat pendidikan yang tinggi dan literasi yang baik akan sangat berguna pada masa dimana banyak sekali informasi yang beredar. Informasi yang sekian banyak tersebut dapat dipilah dan dipisahkan antara informasi yang valid dan berguna dengan informasi yang menyesatkan. Jika seseorang hanya mencari informasi sesuai harapannya serta tidak membudayakan berfikir kritis atas informasi yang diperolehnya maka akan sulit untuk mengubah persepsinya atas suatu topik.

Tugas berat pemerintah dan orang-orang yang aware terhadap bahayanya virus ini antara lain adalah tetap memberikan semangat kepada masyarakat yang sudah mulai lelah untuk tetap melaksanakan protokol kesehatan. Semakin taat dan sabar masyarakat dalam mengikuti anjuran prokes, maka akan semakin cepat pandemic ini ditangani. Tugas berat lainnya adalah menumbuhkan awareness dari kelompok masyarakat yang sejak awal tidak mempercayai adanya virus ini termasuk mengcounter hoax-hoax yang sudah terlanjur dipercayai kebenarannya oleh sebagian masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Palembang, Kota Yang Mengesankan

Musim penerimaan CPNS tahun anggaran 2021 membawa banyak berkah bagi saya. Dalam rangka proses rekrutmen tersebut, saya berkesem...