| Foto Sebagai Pemanis |
Tulisan dalam blog edisi kali ini adalah dalam
rangka nostalgia saya ketika menjadi seorang pengajar pada madrasah aliyah swasta atau
sekolah menengah tingkat atas yang memadukan ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama. Adapan madrasah tempat saya mengajar adalah Madrasah Aliyah Annur Sawahan Turen. Saya menjadi pengajar di
madrasah ini dalam kurun 2009 hingga 2010. Ada beberapa situasi yang membawa
saya berada dalam jajaran pengajar pada madrasah ini. Pertama, sejak lulus
kuliah pada awal tahun 2006, saya belum mendapatkan pekerjaan formal dan tetap.
Saya sudah beberapa kali melamar pekerjaan dan bahkan dua kali ke Jakarta untuk
mencari dan melakukan tes kerja. Walaupun tidak mempunyai pekerjaan di sektor
formal namun saya tidak benar-benar menganggur. Keseharian saya banyak
dihabiskan untuk menjaga toko milik keluarga yang omsetnya Alhamdulillah mencukupi
kebutuhan primer keluarga kami. Kedua, saya diminta mengajar oleh salah satu
guru di madrasah ini karena jumlah pengajar masih kurang. Selain itu, saya
masih punya hutang budi, karena di yayasan yang menaungi madrasah ini, saya
menempuh pendidikan mulai dari tingkat TK hingga tingkat SMA. Labih lanjut, di
yayasan inilah orang tua saya mengabdikan diri sebagai pengurus dan pengajar.
Akhirnya tibalah momen pertama kali bertatap muka
dengan murid saya. Alhamdulillah saya tidak terlalu canggung atau grogi karena
beberapa alasan. Pertama kebanyakan murid di madrasah ini adalah tetangga
rumah saya. Kedua, sebelum mengajar pada lembaga pendidikan formal, saya
telah mengajar di sebuah TPQ. Dengan menerapkan prinsip yang sama, yakni
prinsip saling belajar, saya bisa menekan rasa grogi pada saat pertama kali mengajar.
Alasan berikutnya, saya sudah menyiapkan materi ajar sehingga saya yakin
tidak akan blank saat di dalam kelas. Yang terakhir, bagaimana saya mau grogi
kalau murid yang diajar hanya sedikit. Inilah kondisinya pada saat itu, murid
kelas 1 dan 3 masing-masing berjumlah belasan siswa. Sedangkan kelas 2
berjumlah dua puluhan orang.
Awalnya saya agak canggung atau bisa dibilang sedikit
gengsi saat mengajar di madrasah ini. Canggungnya karena baru saat-saat pertama.
Gengsinya, karena sebagai lulusan salah satu fakultas hukum terbaik di Indonesia
namun bekerja di area di luar kompetensinya. Oh iya, di madrasah ini saya
mengajar pelajaran sejarah dan geografi, mata pelajaran favorit saya dulu
waktu SMA. Perasaan canggung dan gengsi ini perlahan mulai hilang dan saya
mulai menikmati momen-momen belajar-mengajar bersama para siswa.
Pada saat awal mengajar, dalam seminggu, saya
hanya punya waktu mengajar sebanyak satu hari. Adapun bisyaroh yang saya dapatkan adalah
sebesar Rp60.000 dalam satu bulan. Saya masih ingat bisyaroh pertama ini saya
pakai untuk tambahan beli Play Station mini sebesar Rp150.000. Pada semester
kedua, jam mengajar saya bertamabah dan saya mengampu satu mata pelajaran
lagi yakni Sosiologi. Bisyaroh saya juga bertambah menjadi Rp120.000 untuk
sebulan. Kalau dilihat dari nilainya, tentu saja bisyaroh tersebut kurang.
Namun rejeki tidak hanya berasal dari bisyaroh tersebut, karena perasaan “marem”
dan terlibat dalam dunia taa’lim muta’alim merupakan suasana yang didamba
pemburu ilmu.
Dalam kurun waktu setahun mengajar di madrasah,
ada banyak kisah suka dan duka yang saya alami. Diantaranya, perasaan bahagia
karena bisa berbagi pengetahuan dan pengalaman. Saya sangat ingin
mengembangkan daya kritis murid saya dan menginisiasi kelompok diskusi setiap
kali mengajar. Saya juga berusaha memancing rasa keingintahuan murid saya
dengan melemparkan pertanyaan terkait materi yang diajarkan. Dari pengalaman
saya sebagai murid, suasana kelas yang ceria akan membuat para murid lebih menikmati
suasana belajar. Kondisi inilah yang selalu saya bangun supaya murid-murid
tidak merasa bosan di kelas.
Berikutnya, beberapa kesan yang masih saya ingat
adalah tentang keprihatinan saya terhadap sempitnya pergaulan dan wawasan beberapa
murid-murid saya. Mindset mereka masih sederhana dan cenderung polos untuk
ukuran siswa setingkat SMA. Selain itu pada saat saya mengajar, fasilitas di
sekolah masih terbatas pada infrastruktur dasar berupa kelas, papan tulis dan
meja kursi siswa. Saya beberapa kali memboyong PC saya ke kelas dan
menunjukkan video atau gambar penjelas agar murid saya lebih paham tentang
materi yang saya sampaikan. Satu lagi yang juga berkesan adalah pembiasaan
pembacaan Surah yasin sebelum kelas dimulai. Harus hati-hati ini, karena kalo
sampe gak hafal bisa malu sama para murid.
Akhir tahun 2009 sampai dengan awal tahun 2020, saya dalam proses mengikuti tes
CPNS BPK TA 2009. Pada bulan April 2010 saya mendapat pengumuman bahwa saya
diterima sebagai CPNS BPK dan harus mengikuti diklat selama 4 bulan di
Makassar. Dengan adanya panggilan diklat ini, saya harus mengakhiri masa pengabdian
saya sebagai pengajar di madrasah. Sebelum berangkat diklat, saya beruntung masih
sempat mendampingi murid saya melaksanakan ujian akhir nasional. Di sisi lain
saya harus meninggalkan murid kelas 1 dan 2 sebelum tahun ajaran berakhir
untuk digantikan oleh pengajar lain. | Setelah Diklat BPK Saya Sempatkan Untuk Kembali Mengajar
|
Dalam masa singkat saya mengajar madrasah ini, ada
beberapa hal yang menjadi perhatian saya, yakni: - Pelajaran
ikhlas dari para guru. Meskipun bisyaroh yang diterima jumlahnya tdiak
seberapa, mereka tetap mau mengabdikan diri untuk mengajar dan mendidik
murid-muridnya. Semoga amal ibadah para pengajar ini selalu bertambah setiap
waktu.
- Model
pengajaran. Dunia pendidikan kita masih banyak diwarnai model mengajar satu
arah dan membosankan. Menurut pandangan saya, dalam kondisi bosan dan tidak
berminat, konsentrasi para murid tidak akan maksimal dimana penyampaian
pelajaran pun akan kurang efektif. Sudah saatnya para guru mengadopsi
model-model pengajaran yang kreatif yang memunculkan keaktifan dan rasa
penasaran siswa.
- Mendidik
tanpa menghardik. Untuk menumbuhkan disiplin murid pada masa sekarang,
cara-cara keras seperti memarahi, memukul, serta hukuman fisik lainnya menurut
pandangan saya tidak akan efektif. Menghardik dan memukul siswa mungkin
efektif pada jaman dahulu. Namun untuk saat ini dan ke depan, perlu digunakan
cara-cara persuasif agar diketahui permasalahan utamanya serta langkah
penyelesaiannya secara tepat. Kalaupun terpaksa harus memberikan hukuman, ada
beberapa alternatif hukuman yang sifatnya lebih mendidik. Saya khawatir jika
cara-cara yang terbilang keras masih dipakai, pada saat murid ini menjadi
guru, mereka akan melanggengkan cara-cara keras (atau kekerasan) untuk
menegakkan disiplin.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar