Sabtu, 18 Juli 2020

Jadi Pengajar Madrasah Aliyah

Foto Sebagai Pemanis

Tulisan dalam blog edisi kali ini adalah dalam rangka nostalgia saya ketika menjadi seorang pengajar pada madrasah aliyah swasta atau sekolah menengah tingkat atas yang memadukan ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama. Adapan madrasah tempat saya mengajar adalah Madrasah Aliyah Annur Sawahan Turen. Saya menjadi pengajar di madrasah ini dalam kurun 2009 hingga 2010. Ada beberapa situasi yang membawa saya berada dalam jajaran pengajar pada madrasah ini. Pertama, sejak lulus kuliah pada awal tahun 2006, saya belum mendapatkan pekerjaan formal dan tetap. Saya sudah beberapa kali melamar pekerjaan dan bahkan dua kali ke Jakarta untuk mencari dan melakukan tes kerja. Walaupun tidak mempunyai pekerjaan di sektor formal namun saya tidak benar-benar menganggur. Keseharian saya banyak dihabiskan untuk menjaga toko milik keluarga yang omsetnya Alhamdulillah mencukupi kebutuhan primer keluarga kami. Kedua, saya diminta mengajar oleh salah satu guru di madrasah ini karena jumlah pengajar masih kurang. Selain itu, saya masih punya hutang budi, karena di yayasan yang menaungi madrasah ini, saya menempuh pendidikan mulai dari tingkat TK hingga tingkat SMA. Labih lanjut, di yayasan inilah orang tua saya mengabdikan diri sebagai pengurus dan pengajar.

Akhirnya tibalah momen pertama kali bertatap muka dengan murid saya. Alhamdulillah saya tidak terlalu canggung atau grogi karena beberapa alasan. Pertama kebanyakan murid di madrasah ini adalah tetangga rumah saya. Kedua, sebelum mengajar pada lembaga pendidikan formal, saya telah mengajar di sebuah TPQ. Dengan menerapkan prinsip yang sama, yakni prinsip saling belajar, saya bisa menekan rasa grogi pada saat pertama kali mengajar. Alasan berikutnya, saya sudah menyiapkan materi ajar sehingga saya yakin tidak akan blank saat di dalam kelas. Yang terakhir, bagaimana saya mau grogi kalau murid yang diajar hanya sedikit. Inilah kondisinya pada saat itu, murid kelas 1 dan 3 masing-masing berjumlah belasan siswa. Sedangkan kelas 2 berjumlah dua puluhan orang.

Awalnya saya agak canggung atau bisa dibilang sedikit gengsi saat mengajar di madrasah ini. Canggungnya karena baru saat-saat pertama. Gengsinya, karena sebagai lulusan salah satu fakultas hukum terbaik di Indonesia namun bekerja di area di luar kompetensinya. Oh iya, di madrasah ini saya mengajar pelajaran sejarah dan geografi, mata pelajaran favorit saya dulu waktu SMA. Perasaan canggung dan gengsi ini perlahan mulai hilang dan saya mulai menikmati momen-momen belajar-mengajar bersama para siswa.

Pada saat awal mengajar, dalam seminggu, saya hanya punya waktu mengajar sebanyak satu hari.  Adapun bisyaroh yang saya dapatkan adalah sebesar Rp60.000 dalam satu bulan. Saya masih ingat bisyaroh pertama ini saya pakai untuk tambahan beli Play Station mini sebesar Rp150.000. Pada semester kedua, jam mengajar saya bertamabah dan saya mengampu satu mata pelajaran lagi yakni Sosiologi. Bisyaroh saya juga bertambah menjadi Rp120.000 untuk sebulan. Kalau dilihat dari nilainya, tentu saja bisyaroh tersebut kurang. Namun rejeki tidak hanya berasal dari bisyaroh tersebut, karena perasaan “marem” dan terlibat dalam dunia taa’lim muta’alim merupakan suasana yang didamba pemburu ilmu.

Dalam kurun waktu setahun mengajar di madrasah, ada banyak kisah suka dan duka yang saya alami. Diantaranya, perasaan bahagia karena bisa berbagi pengetahuan dan pengalaman. Saya sangat ingin mengembangkan daya kritis murid saya dan menginisiasi kelompok diskusi setiap kali mengajar. Saya juga berusaha memancing rasa keingintahuan murid saya dengan melemparkan pertanyaan terkait materi yang diajarkan. Dari pengalaman saya sebagai murid, suasana kelas yang ceria akan membuat para murid lebih menikmati suasana belajar. Kondisi inilah yang selalu saya bangun supaya murid-murid tidak merasa bosan di kelas.

Berikutnya, beberapa kesan yang masih saya ingat adalah tentang keprihatinan saya terhadap sempitnya pergaulan dan wawasan beberapa murid-murid saya. Mindset mereka masih sederhana dan cenderung polos untuk ukuran siswa setingkat SMA. Selain itu pada saat saya mengajar, fasilitas di sekolah masih terbatas pada infrastruktur dasar berupa kelas, papan tulis dan meja kursi siswa. Saya beberapa kali memboyong PC saya ke kelas dan menunjukkan video atau gambar penjelas agar murid saya lebih paham tentang materi yang saya sampaikan. Satu lagi yang juga berkesan adalah pembiasaan pembacaan Surah yasin sebelum kelas dimulai. Harus hati-hati ini, karena kalo sampe gak hafal bisa malu sama para murid.

Akhir tahun 2009 sampai dengan awal tahun 2020, saya dalam proses mengikuti tes CPNS BPK TA 2009. Pada bulan April 2010 saya mendapat pengumuman bahwa saya diterima sebagai CPNS BPK dan harus mengikuti diklat selama 4 bulan di Makassar. Dengan adanya panggilan diklat ini, saya harus mengakhiri masa pengabdian saya sebagai pengajar di madrasah. Sebelum berangkat diklat, saya beruntung masih sempat mendampingi murid saya melaksanakan ujian akhir nasional. Di sisi lain saya harus meninggalkan murid kelas 1 dan 2 sebelum tahun ajaran berakhir untuk digantikan oleh pengajar lain. 

Setelah Diklat BPK Saya Sempatkan Untuk Kembali Mengajar 

Dalam masa singkat saya mengajar madrasah ini, ada beberapa hal yang menjadi perhatian saya, yakni: 

  1. Pelajaran ikhlas dari para guru. Meskipun bisyaroh yang diterima jumlahnya tdiak seberapa, mereka tetap mau mengabdikan diri untuk mengajar dan mendidik murid-muridnya. Semoga amal ibadah para pengajar ini selalu bertambah setiap waktu. 
  2. Model pengajaran. Dunia pendidikan kita masih banyak diwarnai model mengajar satu arah dan membosankan. Menurut pandangan saya, dalam kondisi bosan dan tidak berminat, konsentrasi para murid tidak akan maksimal dimana penyampaian pelajaran pun akan kurang efektif. Sudah saatnya para guru mengadopsi model-model pengajaran yang kreatif yang memunculkan keaktifan dan rasa penasaran siswa.
  3. Mendidik tanpa menghardik. Untuk menumbuhkan disiplin murid pada masa sekarang, cara-cara keras seperti memarahi, memukul, serta hukuman fisik lainnya menurut pandangan saya tidak akan efektif. Menghardik dan memukul siswa mungkin efektif pada jaman dahulu. Namun untuk saat ini dan ke depan, perlu digunakan cara-cara persuasif agar diketahui permasalahan utamanya serta langkah penyelesaiannya secara tepat. Kalaupun terpaksa harus memberikan hukuman, ada beberapa alternatif hukuman yang sifatnya lebih mendidik. Saya khawatir jika cara-cara yang terbilang keras masih dipakai, pada saat murid ini menjadi guru, mereka akan melanggengkan cara-cara keras (atau kekerasan) untuk menegakkan disiplin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Palembang, Kota Yang Mengesankan

Musim penerimaan CPNS tahun anggaran 2021 membawa banyak berkah bagi saya. Dalam rangka proses rekrutmen tersebut, saya berkesem...