| Sikapi Perbedaan dengan Bijak
|
Perkembangan kemajuan pengetahuan
dewasa ini semakin meningkat. Ada banyak akses yang bisa digunakan untuk
mendapatkan informasi sekaligus mendapatkan pengetahuan. Pengetahuan tidak
harus didapat dengan mempelajari atau mengalaminya langsung.
Menjadikan pengalaman orang lain sebagai bahan pengetahuan dan pelajaran juga merupakan hal
yang lumrah.
Proses mendapatkan pengetahuan
serta pengalaman pada saatnya nanti akan menjadi salah satu dasar bagi
seseorang untuk dapat menilai sesuatu. Penilaian tersebut adalah untuk
menentukan apakah sesuatu itu dianggap baik atau buruk, benar atau salah, lebih atau kurang, dan seterusnya.
Penilaian tersebut juga mencakup kadar dalam menentukan tingkat kebenaran dan
kesalahan atau derajat kebaikan atau keburukan. Muara dari proses pembelajaran dan penilaian ini adalah suatu pendapat. Dan dengan menggunakan variabel di atas dalam menilai sesuatu, maka lumrah jika terjadi perbedaan pendapat.
Yang menjadi konsern (baca:
keresahan) saya saat ini adalah belum terciptanya iklim yang kondusif dalam
menyikapi perbedaan pendapat. Ada satu cerita yang masih relevan untuk
menggambarkan tentang situasi dimana suatu perbedaan pendapat dapat muncul,
yakni tentang bagaimana tiga orang buta yang memegang gajah dan kemudian
saling memberikan pendapatnya. Dalam kondisi dimana ketiga orang tersebut
menceritakan pendapatnya kepada orang lain yang tidak buta namun sama sekali belum berkesempatan melihat gajah maka akan terjadi beberapa kemungkinan. Pertama,
jika masing-masing orang tersebut kukuh dengan pendapatnya tanpa mendengarkan
pendapat yang lain, maka orang ke-empat akan kesulitan mendapatkan gambaran
mengenai hewan atau benda apakah yang telah mereka temui. Kedua, jika ketiga
orang buta tersebut saling melengkapi deskripsi atas hewan yang telah
disentuhnya, maka orang lain yang belum pernah melihat gajah akan
mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang hewan yang sedang
dideskripsikan.
Kultur perbedaan pendapat
Opini saya berikutnya adalah terkait
dengan kultur perbedaan pendapat di sekitar kita. Kultur ini dapat dipilah
dan dipelajari dari banyak perspektif, namun dalam tulisan ini saya mencoba
mengetengahkan empat diantaranya.
Pertama kultur dogmatis. Kultur ini
bisa dilihat dalam lingkup ningrat, pesantren. Dalam level ini nyaris tidak
ada perbedaan pendapat karena figur kyai, bangsawan, atau tokoh masyarakat
merupakan figur sentral yang sangat dihormati dan luas wawasannya serta
dianggap lebih bijaksana dan oleh sebab itu pendapatnya "lebih benar"
dalam hal terdapat suatu perbedaan pendapat. Kondisi demikian seringkali
membuat santri, kaum proletar dan masyarakat awam jarang mau secara kontras
memunculkan pendapat yang berbeda dari figur-figur yang ditokohkan di
masyarakat.
Kedua kultur Akademisi. Kultur ini
yang menurut saya paling sehat dalam menyikapi perbedaan pendapat, karena masing-masing pendapat akan didukung
dengan argumen yang diperkuat dengan bukti yang bersifat akademis. Diskusi
ilmiah merupakan tempat dimana suatu topik bisa menimbulkan beberapa kemungkinan,
diantaranya: memunculkan keseragaman ide, menyebabkan perbedaan pendapat,
atau mengerucut pada satu atau beberapa kesimpulan. Diskusi ilmiah mungkin
terlihat kaku dengan metode-metode penelitian dan argumen-argumen dari data empirik
yang mewarnainya, namun hal ini masih merupakan salah satu cara terbaik untuk
merumuskan perbedaan pendapat untuk kemudian dianalisis agar mendapatkan
kesimpulan.
Ketiga kultur politisi. Satu hal
yang menurut saya patut disayangkan adalah kultur perbedaan pendapat yang
ditampilkan oleh para politisi. Agak susah mengharapkan mereka ini berargumen
dengan kemurnian disiplin ilmu jika slogannya adalah "tidak ada
lawan/kawan abadi, yang abadi adalah kepentingan". Hal ini ditambah
dengan kondisi dimana media massa saat ini banyak sekali menampilkan perdebatan
keras atas suatu permasalahan yang sejatinya bisa dibicarakan secara lebih
beradab. Jika dicermati lebih jauh, ada nuansa upaya untuk
"memanaskan", "mengadu"; dan
"membenturkan" kubu yang
berlawanan untuk saling mematahkan argumen. Upaya menjatuhkan pendapat lawan
ini juga tidak jarang memancing emosi para penontonnya yang pada gilirannya
akan ikut berperang di kolom komentar.
Kultur keempat, perbedaan pendapat
di kalangan awam. Range topik perbedaan pendapat di kalangan awam bisa sangat
lebar sekali, mulai masalah keyakinan keimanan hingga teori konspirasi.
Meskipun terdapat berbagai macam topik, perbedaan pendapat di
kalangan awam bisa selesai dengan sendirinya salah satunya ketika muncul pernyataan yang tidak terucap berupa "pendapatmu memang benar, tapi aku tidak mau
mengikutinya".
Kenapa berbeda pendapat
Kembali ke pembahasan di atas,
bahwa pendidikan, pengalaman dan pengetahuan seseorang akan mempengaruhi
metode berpikirnya hingga bermuara pada kesimpulan pendapatnya atas suatu
topik. Perbedaan jenis dan tingkat
pendidikan, kaya miskinnya pengalaman dan kedalaman pengetahuan seseorang
sangat berpengaruh pada caranya menarik kesimpulan atau memberikan pendapat.
Pada gilirannya, dua orang, kubu, kelompok yang pendapatnya tidak sama
merupakan tanda adanya perbedaan yang muncul diantaranya dari variabel tadi. Tentunya masih
banyak variabel yang dapat memicu perbedaan pendapat contoh, adanya perbedaan
kepentingan sebagaimana dominan terjadi pada dunia politik. Sebagai penutup, saya mengutip ungkapan dari Imam Syafi'i "Pendapatkulah yang paling benar menurutku, tapi bukan berarti aku merasa yang paling benar. Karena, boleh jadi pendapat orang lain yang berbeda denganku juga mengandung kebenaran,". Dengan meresapi ungkapan di atas, setidaknya akan tumbuh respek kepada orang lain yang berbeda pendapat dengan kita. Dengan respek tersebut kita dapat menyikapi perbedaan dengan cara yang elegan dan menjaga agar tidak sampai terjadi permusuhan dan perpeahan.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar